Tahun 2015. Selepas sebuah acara diskusi tentang penanggulangan terorisme, saya menumpang sebuah mobil bersama tiga orang lain. Supir dan salah satu rekan saya duduk di barisan depan. Di kursi tengah saya berdua dengan lelaki tinggi besar yang rajin tersenyum, ketawa dan berkelakar. Pembawaannya ringan. Dari bentuk wajahnya, cukup gampang menebak ia keturunan suku Jawa. Tapi saya berani bertaruh, setiap orang yang pertama melihat tak bakal menduga masa lalunya yang kelam.
“Mas, kenapa rambutnya sudah enggak digondronginlagi kayak dulu?” tanya saya sambil menunjukkan foto lamanya di sebuah dokumen.
“Wahaha, gawat. Nanti kalau saya panjangin bisa disangka kambuh lagi bikin-bikin bom,” jawabnya. Kami tertawa bareng.
Lelaki itu Ali Fauzi, mantan anggota sebuah jaringan teroris internasional. Ia adik terpidana mati Bom Bali 1, Amrozi. Keahliannya merakit bom. Fauzi pernah dianggap sebagai anggota teroris perakit bom terbaik di Asia. Dia hafal seluk-beluk bom yang dibuat berbagai anggota jaringan teroris. Menurut pengakuannya, dia yang melatih Dr. Azahari dan para teroris yang beraksi di Indonesia dan Asia Tenggara, dalam teknik membuat bom.
“Kalau Dr. Azahari itu selain belajar bikin bom saya ajari mengaji juga. Dia masuk jaringan teroris kan belum ngerti apa-apa. Enggak punya latar belakang pendidikan agama,” kata Fauzi.
Sejak tertangkap dan keluar dari jaringan teroris, Fauzi menjalani kehidupan normal. Lelaki berkulit gelap ini meneruskan pendidikan sampai lulus S2. Dia juga jadi dosen di salah satu sekolah tinggi. Di luar kegiatan akademik ia aktif menjadi narasumber soal terorisme. Terutama soal bom.
“Selama buron dulu pernah lari ke mana aja, Mas?” tanya saya setelah kami terdiam beberapa saat.
“Wah banyak negara saya jelajahi. Kalo Indonesia sudah muter-muter berbagai daerah,” katanya, lalu menyebut nama beberapa negara yang pernah jadi daerah pelariannya.
“Yang saya ingat sekali waktu di Irlandia. Saya bawa botol air mineral kosong buat menampung air minum. Tutupnya hilang di perjalanan. Di satu sungai saya menunggu sampah tutup botol hanyut. Ya Allah, setengah hari saya tunggu, satu sampah pun enggak ketemu. Kalau di Indonesia cari sampah ya paling gampang,” Fauzi tertawa keras.
“Itulah, kadang kita merasa paling benar soal Islam, tapi soal yang kecil-kecil saja kita teledor,” katanya.
“Ini maksudnya menyindir masa lalu, Mas?” sambar saya. Ia tertawa lagi.
Kami melanjutkan obrolan setengah serius. Beberapa kali ia mengutip dalil dengan fasih. Tak heran kalau pengetahuan agamanya cukup baik, di masa kecilnya ia mendapat pendidikan agama yang cukup. Meski begitu ia mengakui memahami agama tidak cukup sekadar dalil, tapi juga membutuhkan penalaran.
“Dulu saya cuma tahu dalil. Enggak pake akal buat memahami. Makanya waktu dipanas-panasi masuk jaringan teroris saya gampang terbujuk,” katanya mengenang.
Fauzi tertangkap di Filipina oleh polisi setempat. Saat itu ia baru datang dari salah satu basis pelatihan jaringan teroris di Indonesia. Di Filipina ia direncanakan utuk melatih para anggota teroris, yang lebih sering disebutnya sebagai kombatan.
Beberapa waktu ditahan di Filipina, Fauzi dijemput polisi Indonesia. Sebelum ketemu Fauzi, saya kebetulan pernah mengobrol dengan orang yang bertanggung jawab membawanya pulang dari Filipina, Brigjen Pol. Hamidin. Ketika mengurus kepulangan Fauzi, Hamidin masih tergabung dalam Datasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror. Dari mulut lelaki asal Pagaralam ini saya mendapat beberapa cerita menarik soal penanganan para teroris yang tertangkap, termasuk Fauzi.
Hamidin mengatakan bahwa Indonesia memiliki cara sendiri dalam memperlakukan para anggota teroris yang tertangkap. Ia menjadikan kasus penjemputan Fauzi di Filipina sebagai contoh. Sesampainya di sana ia minta semua belenggu yang dipasang di tubuh Fauzi dilepas.
Sontak polisi Filipina kaget mendapat permintaan melepas belenggu pada Fauzi. Sebab sesuai aturan setempat, para teroris diperlakukan dengan prosedur sangat ketat, termasuk memasang belenggu berlapis. Hamidin mengobrol cukup panjang dengan Fauzi. Sampai tiba waktu zuhur, ia mengajak Fauzi sembahyang berjamaah.
Fauzi sendiri mengaku tidak menyangka bakal diperlakukan dengan baik oleh polisi Indonesia. Ia sudah bersiap menerima perlakuan keras dan siksaan. Ternyata tak ada rasa sakit yang dialaminya. Ia mengaku terkesan, apalagi sampai diajak sembahyang berjamaah oleh orang yang selama ini dimusuhinya.
Di Indonesia, Fauzi mengalami penahanan seperti biasa dan banyak bertukar pikiran. Di tahun terakhirnya sebagai kombatan, ia mengaku sudah mulai merasakan banyak ketidaksetujuan dengan rekan-rekannya.
“Perjuangan kami sudah melenceng. Awalnya ingin melawan hegemoni negara-negara Barat yang kejam, kini malah cari-cari musuh. Bahkan mau bikin kerusakan di negeri sendiri. Saya sudah tidak setuju,” kenang Fauzi.
Pengalamannya ditahan polisi Indonesia membantunya membebaskan diri dari pengaruh doktrin jaringan teroris, sampai ia memutuskan keluar.
Di tengah perjalanan Fauzi mengingatkan supir agar mampir di sebuah masjid tempatnya transit, untuk melanjutkan perjalanan ke bandara bersama temannya yang akan menjemput. Mengetahui kami akan berpisah saya minta izin mengajukan sebuah pertanyaan yang mungkin sensitif buatnya.
“Apa yang sekarang terpikirkan kalau mengingat masa lalu Sampeyan, terlibat dalam pengeboman yang membunuh banyak orang, melakukan kejahatan dengan dalih perjuangan dan agama tapi justru membahayakan orang-orang yang tak bisa melindungi diri?” saya melihat senyum tidak hilang dari wajahnya, ekspresinya agak getir. Atau mungkin itu dugaan saya saja.
“Saya menyesal. Saya tahu sudah menjadikan agama sebagai topeng untuk kejahatan. Di tahun-tahun terakhir terlibat di jaringan teroris saya sudah menyadari kekeliruan itu. Enggak ada dalil yang bisa membenarkan perjuangan kami,” katanya.
“Saya keluar dari jaringan terorisme dan secara terbuka memutuskan untuk membantu pemerintah memberantas terorisme dengan pengetahuan saya. Itu murni inisiatif sendiri. Makanya ketika ISIS mulai rame-rame di Indonesia, saya bersama Panglima TNI dan anggota Banser NU yang jadi incaran pertama mereka,” ucap Fauzi sembari tertawa.
Mobil membawa kami memasuki area parkir masjid yang dituju Fauzi. Saya beramah-tamah dengannya, lalu pamit dan melepasnya di pelataran masjid. Bersama rekan dan supir saya melanjutkan perjalanan. Menyusuri jalan raya di waktu petang. Lampu-lampu kota mulai menyala
Comments
Post a Comment