Skip to main content

Indonesia Darurat Akal Sehat?

Aksi viral pemuda Lampung yang dengan sengaja merusak motor saat ditilang itu seketika mengundang netizen untuk mem-bully-nya. Bahkan akun facebooknya yang diduga telah di¬hack juga mendapat ribuan hujatan netizen. Pasalnya, tindakan pemuda ini sangat tidak biasa dilakukan oleh seorang pelanggar lalu lintas pada umumnya. Manajemen amarah yang buruk disinyalir menjadi pemicu tindakan ini.

Namun, yang menjadi sorotan bagi saya adalah ketika aksi ini menjadi wajah yang mewaikili sifat pemuda Indonesia saat ini yang kurangpengetahuan, wawasan dan kebijaksanaan. Tak hanya itu, kegilaan yang menjadi undangan gratis untuk membully dirinya di dunia maya ini juga menjadi tampilan wajah netizen Indonesia yang kurang terpuji. Lalu pertanyaannya adalah di mana tata krama, sopan santun dan budi luhur yang selama ini menjadi junjungan masyarakat Indonesia sedari dulu?

Tata krama, sopan santun dan budi luhur pada kenyataannya hanyalah semboyan semata. Baik secara pendidikan maupun agama, belum mampu menyelamatkan Indonesia yang sedang mengalami degradasi moral dan mental. Gelombang hijrah yang akhir-akhir menguasai dunia maya dengan berbagai dalil agama juga tampaknya hanya semacam simbolis agama yang lalu lalang dengan saling menyalahkan tata cara ibadah satu dengan yang lain. Menganggap maulid, pengeras suara adzan dan beberapa tata cara agama lain sebagai bid’ah. Namun, tak menunjukkan sebuah kerukunan beragama dalam tubuh Islam sendiri.

Hijrah memang diperlukan. Untuk mencapai Islam yang sesungguhnya, kita memang harusnya berhijrah. Namun, tidak mengungkung diri dengan cara mengisolasi islam dalam pandangan yang sempit. Dogma-dogma agama yang keliru mampu membentuk radikalisme yang berkedok penyempurnaan agama. Tepat di saat masyarakat Indonesia sangat sensitif dengan masalah agama, muncullah pertarungan politik yang menuntut masyarakat Indonesia untuk memiliki keteguhan, wawasan dan keimanan sehingga mampu membedakan islam yang dipolitisasi atau politik yang diislamisasi.

Masyarakat Indonesia dituntut agar tidak mudah terprovokasi. Namun, mengingat aksi pemuda ngamuk saat ditilang ini menjadi gambaran pemuda Indonesia yang sangat mudah terprovokasi. Begitu pula dengan berbagai hoaks yang menjelma menjadi sarang kepentingan politik.

Islam dan Indonesia

Sebuah pertanyaan dari seorang teman saya muncul beberapa waktu yang lalu. “Kamu adalah orang Indonesia yang beragama Islam atau orang Islam yang tinggal di Indonesia?” Barangkali pembaca juga tidak asing dengan pertanyaan sederhana ini. Namun, cukup membuat saya berpikir seribu kali sebelum menjawab hingga akhirnya saya tidak mampu menjawab sebab khawatir terjebak pada retorika kata. Namun, pertanyaan ini memberikan saya sebuah insight  dimana masyarakat Indonesia sangat mudah terjebak pada fragmen-fragmen istilah yang akhirnya memberikan mereka krisis identitas. Saya rasa, inilah salah satu faktor yang menciptakan masyarakat sumbu pendek.

Saya adalah orang Islam. Saya juga orang Indonesia. Dan saya menerima dua fakta ini dengan tidak menumpangtindihkan keduanya. Dengan demikian saya menerima alquran sebagai kitab suci saya dan pancasila sebagai dasar Negara saya. Tidak ada yang saling melukai antara Islam dan Indonesia. Tidak ada yang kehilangan substansinya ketika saya menerima keduanya.

Sayangnya, banyak masyarakat yang terikat pada retorika kata sehingga menjebak dirinya dalam situasi dimana mereka menuhankan agama, tidak lagi menuhankan Tuhan Yang Maha Esa. Agama bukanlah sesuatu yang semestinya dituhankan. Di sinilah letak akal sehat kita dapat diselamatkan. Kita harus bisa memilah, memilih dan menelusuri batas antara agama dan Tuhan. Menjadi Orang Indonesia bukan berarti memilih neraka dan memilih agama Islam bukan berarti saya kehilangan kewarganegaraan saya.

Tidak ada yang salah dari sebuah hijrah sampai hijrah itu keluar dari jalurnya. Sebuah video viral yang menayangkan seorang anak remaja mencuri sebuah barang yang diyakininya berasal dari perusahaan Yahudi tertangkap oleh pegawai minimarket. Video yang berdurasi singkat itu menuai berbagai komentar netizen yang menertawakan tampang innocent lelaki tersebut.

Lucunya, aksi pemuda ini dibenarkan oleh dirinya sebab barang yang dicurinya adalah milik yahudi dan sesuai dengan apa yang diajarkan oleh gurunya. Munculnya video ini menjadi sebuah gambaran munculnya radikalisasi yang selama ini tidak disadari oleh warga. Dan sayangnya, kita hanya akan bertindak saat muncul sebuah tragedi bom atau sejenisnya lalu membuat tagar tagar #islamagamadamai tanpa menelisik asal muasal semua ideologi ini. Mirisnya, belum ada sebuah penelusuran tentang hal ini.

Beberapa waktu lalu muncul isu tentang kinerja BPIP Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang dipertanyakan. Pasalnya, dengan gaji lebih dari 100 juta, Mahfud MD dan Megawati Soekarno Purtri belum mampu memberikan hasil yang secara fisik signifikan. Dengan adanya elaborasi kondisi ideology pancasila yang surut akibat perdagangan “agama” diharapkan memberikan pandangan bagi masyarakat tentang pentingnya adanya lembaga tersebut.

Upaya preventif harus segera dirilis untuk menghentikan arus radikalisasi. Pencabutan hak berdirinya HTI juga tidak serta merta menghilangkan ideologinya sebab kita bisa membubarkan oragnisasinya namun tidak dapat membubarkan pemikirannya. Ideologi Intoleransi akan terus muncul dan merusak kepribadian bangsa perlahan tapi pasti.

Pendidikan merupakan upaya preventif yang sangat memegang peranan besar dalam menumbuhkan cara berpikir siswa yang tidak merusak, mampu melakukan toleransi dan tidak mudah terprovokasi. Namun, penerapan di lapangan tidak semudah teori. Permasalahannya adalah banyaknya sumber daya manusia tenaga pendidik yang kurang memahami permasalahan ini dan bahkan sebagian telah terpapar sedikit banyak pemikiran intoleransi. Akhirnya permasahalan sopan santun, toleransi dan hal yang berkaitan dengan hal tersebut menjadi sebuah topic tanpa substansi.

Pemilu Memilukan

Lagi-lagi akal sehat masyarakat Indonesia kembali dipertanyakan. Tahun 2019 merupakan tahun politik. Arus yang kuat dari dua kubu menjadi sebuah magnet yang tarik menarik dalam mengambil simpati masyarakat. Mulai dari imageagama hingga janji dan kinerja menjadi sebuah daya tarik pasangan calon. Hal ini sangat lumrah terjadi. Namun yang menjadi tidak lumrah adalah sensitifitas masyarakat menjadi tidak terbendung hingga akal sehat kembali digadaikan.

Indonesia kembali jauh dari kata perdamaian. Setiap hal yang berhubungan dengan politik memecah segala bentuk pertemanan, persahabatan dan kekeluargaan. Bahasa verbal yang brutal bukan lagi sebuah hal yang tabu untuk dikonsumsi masyarakat saat menelisik dunia maya yang sedang menjadi panggung politik sesungguhnya. Perang ini tentunya mendidik bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tidak dewasa dan kehilangan akal sehatnya. Sopan santun dan tutur bahasa luhur hendaknya dimuseumkan di buku bacaan anak sekolah dasar.

Jangankan berbicara tentang toleransi demi kedaulatan bangsa, toleransi dalam persahabatanpun musnah akibat perbedaan pandangan politik. Perbedaan pandangan agama, suku dan politik masih memicu permasalah moral bangsa. Sampai kapan bangsa kita terus dirongrong oleh pemikiran yang begitu sempit?

Jika kita tarik ke belakang, berapa peperangan antar suku yang pernah terjadi pada bangsa kita? Konflik poso dan sampit hanyalah satu dari ribuan konflik yang ada. Berapa banyak bom yang meledak akibat perbedaan agama? Bom di Surabaya beberapa bulan yang lalu hanyalah satu dari ribuan bom yang menghancurkan masa depan bangsa. Lantas, kali ini berapa banyak persahabatan hancur karena perbedaan pandangan politik?

Bagaimana menyelamatkan Indonesia?

Tidak ada yang mampu menyelamatkan Indonesia. Jawabannya hanyalah kembali pada tiap individu masing-masing. Agar tidak mudah terprovokasi, butuh pendewasaan diri yang hanya dapat dilakukan secara internal individu. Menyelamatkan Indonesia dari kebodohan, radikalisasi dan hilangnya kedaulatan haruslah dimulai dengan merubah mindset masyarakat terlebih dahulu. Sebab, sebuah perbuatan merupakan refleksi dari sebuah pemikiran. Oleh karena itu, kita harus berbenah dalam hal pemikiran.

Revolusi mental tidak hanya dibutuhkan untuk pemerintah dalam membangun birokrasi yang terpercaya. Namun, implementasi revolusi mental sangat dibutuhkan Indonesia detik ini. Namun, hal ini hanya akan menjadi wacana ketika masyarakat hanya sibuk terombang ambing oleh hoaks dan terprovokasi oleh hal- hal yang tidak bersifat substansial.
 
Revolusi mental memang merupakan sebuah produk yang diinisiasi oleh presiden RI Joko Widodo. Namun bukan berarti tidak boleh dikonsumsi oleh publik yang bahkan memihak oposisi. Revolusi mental merupakan sebuah pandangan hidup yang harus disadari warga Indonesia bahwa inilah yang sedang dibutuhkan oleh masyarakat saat ini. Gagal tidaknya sebuah revolusi tidak dating dari satu pihak tertentu. Revolusi adalah gubahan sepenuhnya, gerakan yang menyeluruh. Dimulai dari diri sendiri, keluarga dan pendidikan. Kita tidak mampu mengubah dunia tanpa mengubah diri kita.

Tak hanya membumikan Revolusi Mental, tetapi juga memegang teguh agama merupakan cara untuk menyelamatkan Indonesia dari generasi micin  yang emosional dan mudah terpengaruh. Tentu saja, agama yang dipegang bukanlah agama radikal yang hanya merusak NKRI.


Penulis adalah alumnus Young South East Asian Leader Initiative dan Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Islam Negeri Sunan Ampel

Comments

Popular posts from this blog

Mengapa Harus Mendukung Khilafah, Gagal Paham?

Menurut mereka yang menyuarakan khilafah atau sistem pemerintahan islam di indonesia, khilafah adalah suatu sistem pemerintahan yang turun dari Tuhan. Hukumnya wajib untuk menegakannya. Menurut mereka juga, Pancasila dengan segala bentuk demokrasinya adalah buatan manusia, adopsi dari peradaban barat. Tidak wajib menegakannya, menegakannya berarti lalim terhadap Tuhan. Inilah gagal paham pertama menurut penulis karena tidak ada rujukan apa pun mengenai khilafah. Sepengetahuan penulis rujukan yang ada adalah kewajiban mengangkat Khalifah. Khalifah dalam konteks pemimpin, apapun namanya apakah itu Raja, Presiden, Sultan, Panembahan, lurah, camat, ketua RT. Kenapa penulis mengatakan bahwa khilafah sebagai sistem pemerintahan islam ini tidak dibakukan dalam ajaran islam itu sendiri, karena ditinjau dari sejarahnya, dimulai dari pasca wafatnya Nabi Muhammad, menuju era 4 sahabat terjadi kebingungan dalam tata cara pergantian kepemimpinan, bahkan dari satu era sahabat ke sahabat lain sa

"Bahaya pelibatan TNI dalam mengatasi Tindak Pidana Terorisme"

Keputusan politik bangsa Indonesia pasca refomasi telah menempatkan terorisme sebagai tindak pidana luar biasa. Oleh karena itu, penanggulangan terorisme dilakukan dalam kerangka penegakan hukum (pro justitita). Implikasinya, dalam penanganan nya tentu ini menjadi ranah dari kepolisian. Akan tetapi akhir akhir ini muncul wacana pelibatan kembali TNI dalam mengatasi aksi terorisme,tentu ini berpotensi tumpang tindih kewenangan antara kepolisian dengan TNI. Selain itu pelibatan TNI dalam aksi   terorisme juga rentan terjadi penyimpangan,hal ini tentu bukan ketakutan yang membabi buta karena yang di kwatirkan TNI menggunakan paradigma perang dalam memberantas terorisme. kemudian dilihat dari segi HAM banyak yang mengatakan bahwa  TNI tidak perlu dilibatkan karena apabila dilibatkan dalam hal mengatasi aksi terorisme akan berpotensi terjadi pelanggaran HAM, dapat melanggar prinsip supremasi sipil, serta  bagaimana  bentuk pertanggungjawaban ketika melakukan penangkapan ada suatu